Minggu, 19 April 2009

Muhammad Rasyid Ridha

RASYID RIDHA

PENDAHULUAN
Dewasa ini, muncul begitu banyak tantangan yang mesti dihadapi oleh umat Islam. Adanya keterbelakangan dan kegelapan dalam ilmu pengetahuan modern, serta ada dan melekatnya paham fatalisme serta pemahaman yang keliru terhadap Islam, yang secara tidak langsung turut andil dalam usaha penghambatan kemajuan tersebut.

Islam senantiasa memberikan respon terhadap berbagai problematika yang muncul. Respon Islam tersebut, tidaklah lepas dari peran yang diberikan oleh tokoh yang mengerahkan segenap kemampuan intelektualnya untuk terus melakukan pembaruan terhadap berbagai paham yang ada dalam Islam.

Rasyid Ridha, adalah satu dari sekian banyak pembaru, yang telah banyak menelurkan serta menyumbangkan banyak ide dan pemikirannya bagi kemajuan umat. Dan dalam tulisan ini, sedikit ulasan mengenai Rasyid Ridha, baik ia maupun yang berkaitan dengannya.

Makalah ini terbagi dalam beberapa bagian, yang tersusun dengan sistematika sebagai berikut: bagian pertama, sedikit mengetengahkan tentang jati diri Ridha, serta beberapa hal yang sekiranya mempengaruhi pembentukan ide dan pemikirannya. Bagian kedua, mengetengahkan mengenai pemikiran-pemikiran yang dihasilkannya, baik dalam bidang agama, pendidikan, maupun politik.

KEHIDUPAN RASYID RIDHA
Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin Al-Qalmuni Al-Husaini, dilahirkan ditengah-tengah sebuah keluarga yang memiliki sedikit kedudukan dengan tradisi pendidikan dan kesalehan, pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria).

Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an. Di tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Wathaniyah al-Islamiyah (sekolah Nasional Islam) milik Syaikh Husain al-Jisr, yang terletak di Tripoli. Di madrasah ini, selain bahasa Arab, diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan juga, selain pengetahuan-pengetahuan agama, juga diajarkan pengetahuan-pengetahuan modern.

Setelah itu, Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang berada di Tripoli, walaupun demikian, hubunganya dengan Syaikh Husain al-Jisr tetap berjalan, dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya, ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, yaitu melalui majalah al-Urwah al-Wutsqo.

Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani, tetapi niat itu tak terwujud, dan semenjak pertemuannya dengan Muhammad Abduh, pengaruh Afghani pun mulai meredup dan tergantikan oleh pengaruh Muhammad Abduh. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran pembaru yang diperolehnya dari syaikh al-Jisr dan yang kemudian diperluas dengan ide-ide yang ia peroleh dari Afghani dan Abduh, menjadi sebuah pondasi yang kuat dan tertanam dalam jiwanya.

Tidak seperti gurunya, Muhammad Abduh, yang lebih bisa disebut sebagai seorang yang liberal, Rasyid Ridha mendekatkan dirinya pada ajaran Ibnu Taimiyah dan praktik-praktik Wahabiyyah, salah satu faktor yang menuntunya pada ajaran tersebut, adalah karena kecurigaannya terhadap tasawuf.

Setelah menebarkan kiprah dirinya dalam banyak bidang, pada bulan Agustus tahun 1935, sekembalinya dari Suez setelah mengantarkan Pangeran Su’ud, ia meninggal dunia dan meninggalkan banyak ide-ide pembaruan, yang cukup memberikan pengaruh terhadap generasi selanjutnya.

BUAH-BUAH PEMIKIRANNYA
Pada dasarnya, pemikiran-pemikiran pembaruan yang diajukan Rasyid Ridha, tidaklah banyak berbeda dengan ide-ide yang disampaikan oleh Afghani dan Muhammad Abduh. Ia juga berpendapat bahwasanya umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran islam yang sebenarnya.

Sebenarnya, ia telah mulai menjalankan ide-ide pembaruannya semenjak ia masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya tersebut mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk hijrah ke Mesir, dekat dengan gurunya, Muhammad Abduh.

Beberapa bulan kemudian, ia mulai menerbitkan majalah yang cukup ternama, yaitu al-Manar. Di dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar adalah sama dengan tujuan al-Urwah al-Wutsqa, yaitu antara lain adalah mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam serta faham-faham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawuf, serta meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam dari permainan-permainan politik negara-negara Barat.

Sebagai tokoh pembaruan yang masih condong pada ajaran-ajaran ibnu Taimiyah dan sekaligus sebagai penyokong aliran Wahabi, ajarannya berpaham salaf yang bertujuan mengembalikan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan hadits.

Secara umum, pandangan Islam yang dipegang oleh Rasyid ridha, adalah seperti yang disebarluaskan oleh Afghani dan Muhammad Abduh. Pandangan ini dimulai dari pertanyaan tentang mengapa dunia Islam mengalami ketertinggalan dalam semua aspek peradaban. Dan, jawaban mendasar mengenai hal tersebut adalah ajaran-ajaran dan perintah-perintah Islam yang pada dasarnya serba mencakup, sehingga jika dipahami dengan benar dan dipatuhi sepenuhnya, ia akan membawa pada kesuksesan dunia dan akhirat kelak.

Umat Islam adalah jantung dari peradaban dunia selama ia benar-benar Islami. Penyebab ketertinggalan ini adalah dikarenakan muslim telah kehilangan kebenaran sejati agamanya. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya penguasa-penguasa politik yang buruk.

Menurut Rasyid Ridha, kejayaan Islam masa lalu dapat tercipta kembali, apabila orang-orang muslim bersedia kembali pada al-Qur’an dan perintah-perintah moral yang terkandung di dalamnya. Sedangkan keterampilan teknis secara potensial adalah universal, dan penguasaan atasnya tergantung pada kebiasaan-kebiasaan moral dan prinsip-prinsip intelektual tertentu. Jika orang-orang muslim memilikinya, mereka akan dengan mudah dapat meraih keterampilan teknis, dan kebiasaan-kebiasaan serta prinsip-prinsip semacam itu sesungguhnya telah terkandung di dalam Islam.

Meskipun pada dasrnya ide-ide dan pemikiran yang dihasilkan oleh Rasyid Ridha memiliki banyak kesamaan dengan ide-ide dan pemikiran sang Guru, Muhammad Abduh, namun, diantara keduanya juga terdapat perbedaan. Salah satunya adalah, Muhammad Abduh, bersifat lebih liberal dibandingkan Rasyid Ridha. Abduh tidak mau terikat pada salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam Islam, ia melepaskan diri dari aliran dan mazhab yang pernah dianutnya, alasannya adalah karena ia ingin bebas dalam menelurkan ide-ide dan pemikirannya. Pindah dari satu aliran ke aliran lain bukanlah kebebasan, melainkan terikat pada ikatan-ikatan baru. Berbeda dengan Rasyid ridha, ia masih memegang mazhab dan masih terikat pada pendapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyah. Ia juga sangat mendukung gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, karena ia semazhab dengannya.

Selain itu, perbedaan antara keduanya juga terlihat dari cara mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Bagi Abduh, ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai Wajah, Tangan, Kursi, dan lain sebagainya, harus diberi interpretasi, dalam arti harus dimengerti makna yang tersirat di dalammnya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Kursi Tuhan adalah Pengetahuan Tuhan, dan yang dimaksud dengan Tahta Tuhan adalah Kekuasaan-Nya. Bagi Rasyid Ridha, kelihatanya, Tahta Tuhan masih mengandung arti sebagai tahta, meskipun Tahta Tuhan tidaklah sama dengan tahta pada manusia.

Perbedaan-perbedaan tersebut, juga terlihat dalam karya mereka, yaitu tafsir al-Manar, misalnya ketika Rasyid Ridha memberikan komentar terhadap uraian Abduh dalam menyoal permasalahan mengenai balasan di akhirat yang disebutkan dalam ayat ke-25 surat al-Baqarah. Muhammad Abduh menekankan terhadap makna filosofis. Tafsiran iu mengandung arti bahwa balasan yang akan diterima bersifat rohani. Rasyid Ridha dalam komentarnya lebih menekankan balasan dalam bentuk jasmani, dan bukan dalam bentuk rohani.

Ide-ide pembaruan Rasyid Ridha meliputi berbagai bidang, diantaranya adalah bidang agama, bidang pendidikan, dan bidang politik, yang secara sedikit lebih terperincinya, akan dibahas pada kalimat demi kalimat berikutnya.

BIDANG AGAMA
Rasyid ridha berpendapat bahwa faktor utama yang menyebabkan umat islam lemah, adalah karena tidak lagi mengamalkan ajaran islam yang sebenarnya. Menurutnya, Islam telah banyak diselimuti oleh faktor bid’ah yang menghambat perkembangan dan kemajuan umat, diantara bid’ah-bid’ah yang dimaksudkan itu ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala yang dikehendakinya, dan sekaligus juga memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Selain itu, bid’ah lain yang juga mendapat tantangan keras dari Rasyid Ridha, ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentingnya kehidupan duniawi, tawakkal yang berlebihan, serta kepatuhan yang berlebihan terhadap syekh dan wali.

Ia berpendapat bahwa salah satu penyebab mundurnya umat Islam lainnya adalah paham fatalisme, karena paham tersebut menyebabkan manusia tidak memiliki etos kerja dan cenderung tidak mau berpacu atau pasrah dengan keadaan. Menurutnya, salah satu penyebab kemajuan Eropa adalah paham dinamika. Dalam pandangannya, sifat dinamis tersebut pada dasarnya telah dimiliki oleh Islam, karena itu Islam harus bersikap aktif dan memberikan penghargaan terhadap akal. Dinamika dan sifat aktif itu terkandung dalam kata jihad, jihad dalan arti berusaha keras, dan bersedia berkorban untuk mencapai tujuan perjuangan. Faham jihad serupa inilah yan menyebabkan umat islam di zaman klasik dapat menguasai dunia.

Rasyid Ridha, sebagaimana Muhammad Abduh, menghargai akal manusia. Meskipun, penghargaannya terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan oleh Muhammad Abduh. Baginya, akal dapat dipakai dalam hal yang berkenaan dengan hidup bermasyarakat, dan tidak terhadap hal-hal yang berkenaan dengan ibadah. Ijtihad tidaklah diperelukan dalam persoalan ibadah. Ijtihad hanya diperlukan dalam menghadapi persoalan-persoalan bermasyarakat. Ijtihad juga tidak diperlukan terhadap ayat dan hadits yang mengandung arti tegas, namun hanya terhadap ayat dan hadits yang tidak mengandung arti tegas, serta terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits. Disinilah letak dinamika Islam dalam pandangan Rasyid Ridha.

Umat islam harus menggali kembali teks al-Qur’an tanpa harus terikat pada pendapat para ulama terdahulu, sebab, akal dapat memberikan interpretasi atau pemahaman ulang terhadap teks-teks al-qur’an dan hadist yang tidak mengandung arti tegas, atau bersifat dhanny, apalagi persoalan-persoalan yang tidak terkandung dalam al-qur’an dan hadits.

Untuk mengatasi sikap fanatik terhadap pendapat para ulama terdahulu, Rasyid Ridha menganjurkan terhadap adanya toleransi bermazhab. Yang perlu dipertahankan dalam kesamaan faham umat, menurutnya hanyalah mengenai hal-hal mendasar saja (misalnya mengenai masalah ke-Tuhan-an), sedangkan dalam hal perincian dan bukan dalam hal yang mendasar, diberikan kemerdekaan bagi tiap orang untuk menjalankan mana yang disetujuinya.

Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan penafsiran modern terhadap al-Qur’an, yaitu penafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan oleh gurunya. Ketika Muhammad Abduh memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-azhar, ia menuliskan keterangan-keterangan yang diberikan oleh gurunya tersebut, dan kemudian disusun dalam bentuk karangan teratur dan diperiksa kembali oleh Abduh, selanjutnya, karangan itu ia siarkan dalam al-Manar. Yang dikemudian hari, menjadi titik awal tersusunnya tafsir al-Manar. Namun, Muhammad Abduh hanya sempat menyelesaikan penafsiran hingga ayat ke-125 dari surat an-Nisa (jilid III dari tafsir al-Manar), dan selanjutnya, diteruskan oleh Rasyid Ridha sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan oleh sang guru.

Menurut Rasyid Ridha, umat harus dibawa kembali kepada ajaran islam yang sebenarnya, murni dari segala bid’ah yang ada. Dan dalam pemahamannya, Islam yang murni itu sangatlah sederhana, sederhana dalam ibadah, juga dalam muamalahnya. Ibadah terlihat berat dan ruwet karena ke dalam hal-hal yang wajib dalam ibadah tersebut, telah ditambahkan hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunnah. Sedangkan, mengenai hal-hal yang sunnah ini, terdapat perbedaan faham, dan timbullah kekacauan.

Dalam soal muamalah, dasar-dasar seperti keadilan, persamaan, serta pemerintahan, perincian dan pelaksanaannya, umatlah yang menentukan. Sedangkan, hukum-hukum fiqh mengenai hidup kemasyarakatan, didasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits, namun demikian ayat-ayat al-Qur’an dan hadits tidak boleh dianggap absolut dan seakan tidak dapat dirubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasan tempat dan zaman ia timbul.

BIDANG PENDIDIKAN
Menurut Rasyid Ridha, membangun sarana pendidikan adalah lebih baik dibandingkan membangun masjid. Menurutnya, masjid tidak besar nilainya apabila mereka yang shalat di dalamnya hanyalah orang-orang bodoh. Akan tetapi dengan membangun sarana dan prasarana pendidikan, akan dapat menghapuskan kebodohan. Dengan begitu, pekerjaan duniawi dan ukhrawi akan menjadi baik dan teratasi.

Ia juga mengadakan berubahan kurikulum dengan melakukan penambahan materi-materi seperti Teologi, Pendidikan Moral, Sosiologi, Ilmu Bumi, Sejarah, Ekonomi, Ilmu Hitung, Ilmu Kesehatan, Bahasa-Bahasa Asing dan Ilmu Mengatur Rumah Tangga (kesejahteraan keluarga) yaitu di samping ilmu-ilmu seperti Fiqh, Tafsir, Hadits, dan lain-lainnya yang biasa diberikan di madrasah-madrasah tradisional.

Pada tahun 1909, ia menerima banyak keluhan mengenai aktivitas missi Kristen di negara-negara Islam, dan untuk menandingi aktivitas tersebut, ia melihat perlunya diadakan dan dibangun sebuah sekolah missi Islam. Akhirnya, pada tahun 1912, ia berhasil mendirikan sekolah yang dimaksud, dengan nama al-Da’wah wa al-Irsyad. Namun sayangnya, sekolah missi tersebut tidaklah berumur panjang, karena terpaksa harus ditutup pada tahun 1914, yaitu ketika pecahnya perang dunia I.

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, berpandangan bahwasanya untuk mengarahkan dan membawa umat Islam pada kemajuan, kuncinya terletak pada upaya memperbarui pendidikan dengan segenap komponen yang ada di dalamya. Serta, diarahkan kepada upaya melahirkan manusia yang memiliki keunggulan dalam bidang ilmu agama dan umum.

BIDANG POLITIK
Ia memainkan peran yang cukup besar dalam politik Suriah, mengadakan negosiasi-negosiasi dengan inggris pada masa perang, sebagai presiden kongres Suriah tahun 1920, sebagai anggota delegasi Suriah-Palestina di Jenewa pada 1921, dan komite politik di Kairo selama Revolusi Suriah 1925-1926.

Seperti telah tertera di atas, bahwasanya Rasyid Ridha telah memulai kiprahnya di dunia politik semenjak masih berada di tanah airnya, dan setelah pindah ke Mesir ia juga ingin meneruskan kegiatan politiknya. Akan tetapi, atas nasehat Muhammad Abduh, ia menjauhi lapangan politik. Setelah gurunya meninggal, barulah ia memulai bermain kembali dalam lapangan politik.

Di dalam majalah al-Manar ia mulai menulis dan memuat karangan-karanga yang menentang pemerintahan absolut kerajaan Usmani. Selanjutnya, ia juga memuat tentang tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan Prancis untuk membagi-bagi dunia Arab di bawah kekuasaan mereka masing-masing.

Sebagaimana halnya Afghani, Rasyid Ridha juga melihat perlunya dihidupkan kembali kesatuan umat Islam. karena menurutnya, salah satu sebab lain bagi kemunduran umat islam ialah adanya perpecahan yang terjadi di kalangan umat. Kesatuan yang dimaksudkan bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa ataupun bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Oleh karena itu, ia tidak setuju dengan gerakan nasionalisme. Ia beranggapan bahwasanya faham nasionalisme bertentangan dengan ajaran persaudaraan seluruh umat dalam Islam. Karena, dalam persaudaraan Islam, tidaklah dikenal adanya perbedaan bahasa, tanah air maupun bangsa.
Menurut Rasyid Ridha, hukum dan undang-undang tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan dari pemerintah. Oleh karena itu, kesatuan umat memerlukan suatu bentuk negara. Negara yang dianjurkan olehnya adalah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala negara ialah khalifah. Khalifah, karena mempunya kekuasaan legislatif, harus mempunyai sifat mujtahid. Tetapi, khalifah tidak boleh bersifat absolut. Ulama merupakan pembantu-pembantunya yang utama dalam soal memerintah umat. Khalifah adalah mujtahid besar dan di bawah kekhalifahan lah, kemajuan dapat dicapai dan kesatuan umat dapat diwujudkan. Sedangkan, kedaulatan umat tetap berada di tangan umat dan berdasarkan prinsip musyawarah. Idenya mengenai kekhalifahan tersebut, ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul al-Khilafah.

PENUTUP
Seorang tokoh besar, pastilah memiliki nama harum dan kritik pedas mengenainya, karena pada pemikiran terdapat keberagaman pemikiran. Ada sebagian pendapat menyampaikan bahwa Ridha selalu melakukan kritik pedas terhadap para ulama-ulama yang tidak sejalan dengannya. Kata-kata yang dipakai pun bisa dibilang sangat kasar. Namun, berbeda bila terdapat perbedaan antara pemikirannya dengan Syehnya (Muhammad Abduh), ketidak setujuannya diungkapkan dengan halus.


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan
Gerakan). Jakarta: PT Bulan Bintang. 1975.

Taufik, Ahmad dkk. Sejarah Pemikiran dan Tokoh modernisme Islam.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2005.

Hourani, Albert. Pemikiran Liberal di Dunia Arab. Penrej: Suparno dkk.
Bandung: PT Mizan Pustaka. 2004.

Black, Antony. Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Nabi Hingga Masa
Kini). Penrej: Abdullah Ali, Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta. 2006.

Rabu, 08 April 2009

KIAMAT SUDAH DEKAT

Berbuat lah yang terbaik dalam hidup karena hidup itu takkan lama
iangatlah yang terdekat dalam hidup adalah kematian dan yang terjauh adalah masa lalu...

semua yang kita lakukan akan mendapat balasan yang setimpal dengan apa yang kita lakukan jika kita menenam benih yang baik maka kita akan memetik hasil yang baik pula..

Sabtu, 04 April 2009

Perih

Dan Ku tenggelam bersama angin kelabu dari negeri awan
membawa sisa rasa dan cintaKu
yang hanya tinggal tergolek di sudut malam…
Dan Ku rasa mulai menguak satu alur cerita lalu nan keluh
bersama ranting rapuh di tiap sikunya
yang ada hanyalah wajah lesu
Dan Ku saksikan keremangan senja dengan lilin jingga ungu
bertemaram mencerna malam di ujung yang akhirnya bawa tubuh......

Candi Muaro Jambi

Candi Muarojambi
Candi Muarojambi merupakan kompleks percandian yang terletak di Desa Muarojambi, Kec. --?--, Kab. Muarojambi, 26 km dari Kota Jambi. Menurut Lonely Planet : Indonesia (2003, p 521), kompleks candi Muara Jambi menandai lokasi kota kuno Jambi yang merupakan ibukota Kerajaan Malayu sekitar 1000 tahun yang lalu.
Untuk bisa mencapai Candi Muarojambi, cara yang paling aman adalah menyewa mobil termasuk sopir lokal dari kota Jambi. Informasi bisa didapat dari petugas hotel tempat kita menginap. Tidak ada angkutan umum yang sampai ke kompleks candi. Kami mencoba mencari angkutan umum di pangkalan angkutan di depan Ramayana WTC Batanghari, Jambi, ternyata angkutan tersebut tidak sampai kompleks candi dan harus disambung dengan ojek motor. Seorang sopir angkutan menawari kami untuk mencharter untuk bolak-balik dan menunggu di lokasi candi selama 1 jam dengan ongkos Rp. 150.000. Jenis kendaraannya adalah minibus model Suzuki Carry dan sejenisnya. Kami juga mendapat informasi bahwa kompleks candi ini bisa dicapai dengan speedboat dari dermaga di Jambi, tapi kita tidak mendapatkan informasi lebih lanjut dan tidak cukup waktu untuk mencoba. Kami akhirnya menuju kompleks candi dengan menyewa mobil dengan harga murah atas jasa baik seorang teman.

Jalan menuju Muarojambi mulus hanya sepanjang jalan trans Sumatra. Begitu jalan berbelok kanan ke arah Muaro Kecil, jalan beraspal dengan kualitas rendah dan sempit, dan banyak binatang peliharaan lalu lalang, jadi pengemudi harus waspada. Candi Muarojambi kami tempuh dalam 1,5 jam perjalanan dari kota Jambi. Perjalanan ditempuh melalui perkampungan penduduk dengan rumah-rumah panggung dari kayu dan hutan campuran menjelang kompleks candi.

Kompleks Candi Muarojambi tampaknya sudah ditata secara baik oleh pemerintah, namun sarana pendukungnya tampak kurang terawat. Lahan parkir misalnya sudah ditumbuhi rumput liar. Tiket masuk yang murah (Rp. 1000 per orang) dan pengunjung yang sepi, mungkin menyebabkan pengelola tidak memiliki cukup dana untuk merawatnya dengan seksama. Namun demikian keadaan di sekitar candi dan museum tampak bersih dan terawat.

Bangunan paling menonjol di kompleks ini adalah Candi Gumpung yang berdiri ditengah tanah lapang seluas lapangan bola dikelilingi tembok rendah. Bangunannya berbentuk segi empat terbuat dari bata merah dengan gerbang yang dihiasi sebuah makara pada satu undakannya. Pintu candi yang kupikir adalah pintu menuju menuju ruang dalam candi ternyata buntu, tertutup oleh tembok batu bata. Tidak ada jalan masuk menuju ruang dalam candi. Apakah bentuk candi memang seperti itu, atau pintu itu sengaja ditutup pada tahun-tahun belakangan karena suatu alasan? Menurut perkiraanku, candi ini merupakan makam seorang raja atau orang penting lainnya yang ditutup rapat untuk menjaga kesakralannya.

Tak jauh dari situ, terdapat Candi Tinggi, yang merupakan candi yang sudah direstorasi secara utuh dan terlihat paling indah di seluruh kompleks. Berukuran 16,2 x 16,3 m2, candi ini berdasarkan keterangan yang ada disitu merupakan tempat peribadatan agama Budha Tantrayana. Candi Tinggi juga dikelilingi pagar tembok rendah, sekompleks dengan beberapa reruntuhan candi perwara dan stupa. Didepan kompleks Candi Tinggi terdapat satu candi yang tengah direstorasi.

Masih ada beberapa candi lagi disekitar Candi Gumpung yang tidak sempat kami kunjungi. Menurut Lonely Planet : Indonesia (2003, p 522) terdapat pula Candi Astano (sekitar 1,5 km dari Candi Gumpung), Candi Kembar Batu, Candi Gedong Satu, Candi Gedong Dua (900m), Candi Kedaton (1,5 km) dan Candi Koto Mahligai.

Masih dalam kompleks Candi Muarojambi, tak jauh cari Candi Gumpung dibangun sebuah museum kecil untuk menampung temuan-temuan penting di kompleks ini. Di dalam museum tersimpan antara lain patung Pradnyaparamitha, peripih, koin-koin China kuno, kendi-kendi, batu berelief dan lain-lain.

Memasuki Muarojambi, serasa kita berkelana dengan mesin waktu, melihat dengan mata kepala sendiri kemegahan Kerajaan Malayu. Bebatuan yang terserak belantara hutan ditepian sungai Batanghari itu mungkin telah menjadi saksi kemegahan dan kehancuran Kerajaan Malayu yang masyhur. Hiruk pikuk kedatangan armada China (672), pendudukan oleh kerajaan Sriwijaya (692-abad 11), pendudukan oleh kerajaan Majapahit (1278 – 1520) dan kedatangan East India Company (1616) yang menjadikan Jambi sebagai bandar utamanya, menjadi bukti pentingnya Kerajaan Malayu ini dimasa lalu.

Epistomologi

Epistimologi
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri. “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2001; hal.9)
Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata, yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu. Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific knowledge diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah.
Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional menggunakan metode induksi. Demarkasi antara science dan non-science secara tradisional biasanya pada metode induksi ini.
Diatas telah dipaparkan bahwa Teknologi Pembelajaran sebagai ilmu pengetahuan. Dari sini muncul pertanyaan bagaimana mendapatkan pengetahuan Teknologi Pembelajaran? Menurut Abdul Gafur (2007) adalah dengan cara:
· Telaah secara simultan keseluruhan masalah-masalah belajar
· Pengintegrasian secara sistemik kegiatan pengembangan, produksi, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi.
· Mengupayakan sinergisme atau interaksi terhadap seluruh proses pengembangan dan pemanfaatan sumber belajar
3. Aksiologi

Aksiologi mempunyai banyak definisi, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Bramel bahwa aksiologi terdiri dari tiga bagian yaitu moral conduct, esthetic expression dan sosio-political life. Aksiologi harus membatasi kenetralan tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa kenetralan ilmu pngetahuan hanya sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai moral

Dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
Dalam hal ini Teknologi Pembelajaran secara aksiologis akan menjadikan pendidikan (Abdul Gafur:2007) sebagai berikut: Produktif
· Ilmiah
· Individual
· Serentak / aktual
· Merata
· Berdaya serap tinggi
Teknologi Pembelajaran juga menekankan pada nilai bahwa kemudahan yang diberikan oleh aplikasi teknologi bukanlah tujuan, melainkan alat yang dipilih dan dirancang strategi penggunaannya agar menumbuhkan sifat bagaimana memanusiakan teknologi (A.L Zachri:2004).
Pengertian Epistemologi
Salah satu pilar dari 3 pilar utama filsafat adalah epistemologi, selain ontologi dan aksiologi.
Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani: ‘Episteme dan Logos. Episteme artinya ‘ilmu pengetahuan’ atau ‘kebenaran dan ‘logos’ artinya berpikir’, ‘kata-kata’ atau ‘teori’. Epistemologi berbicara tentang: watak/sifat-sifat/nature, asal-usul/sumber, kesahihan (validity), dan cara memperoleh ilmu pengetahuan serta batas-batas ilmu pengetahuan.
Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai “teori ilmu pengetahuan’, atau juga disebut filsafat ilmu pengetahuan (Philosophy of Sciences). Paling tidak, filsafat ilmu pengetahuan dan epistemology tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena filsafat sains mendasarkan diri pada epistemology, khususnya pada validitas (kesahihan/keabsahan) ilmu pengetahuan (scientific validity).
Keabsahan ilmu pengetahuan, berdasarkan paradigma ilmu pengetahuan Barat, hanyalah mengandung 3 konsep teori kebenaran, yaitu: korespondesi, keherensi dan pragmatisme. Korespondensi mensyaratkan kesesuaian di antara ide dengan kenyataan (fakta) di alam semesta, kebenarannya bersifat empiris-induktif; koherensi mensyaratkan kesesuaian di antara berbagai penyataan logis, kebenarannya bersifat rasional formal-deduktif, sedangkan pragmatisme mensyaratkan adanya kriteria instrumental atau kebermanfaatan, kebenarannya bersifat fungsional.
Korespondensi menghasilkan ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi & sosiologi; koherensi menghasilkan ilmu-ilmu abstrak seperti matematika dan logika; sedang pragmatisme menghasilkan ilmu-ilmu terapan seperti kedokteran.Jadi epistemology sangatlah penting karena menjadi dasar bagi filsafat ilmu pengetahuan, khususnya dalam membedakan mana ilmu pengetahuan yang ilmiah (scientific-empiris) dan mana yang ‘tak ilmiah’ (pengetahuan sehari-hari).